BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hirschsprung adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rectosigmoid colon, dengan tidak adanya ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltic serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ).
Hirschsprung ditemukan oleh Harold Hirschprung pada tahun 1886, walaupun demekian baru pada tahun 1948 Orvar Swenson melakukan operasi kuratif yang didasarkan pada patofisiologi penyakit ini. Selanjutnya berkembang bukan saja prosedur diagnostik tetapi juga prosedur bedah yang lain-lainnya. Juga berkembang modifikasi masing-masing prosedur dalam upaya mempertinggi pencapaian keberhasilan penanganan penyakit ini dengan angka komplikasi dan angka kematian kecil.
Di Indonesia keberadaan Hirschsprung diperkenalkan pada tahun 1963 oleh Dr. Adang Zainal Kosim, Spesial bedah pertama yang mengabdikan diri khusus dalam pelayanan bedah anak di indonesia. Beliau mengajar di fakultas Kedokteran UI dan bekerja disubbagian bedah anak, Rs. Cipto Mangun kusumo di jakarta sampai masa purna bakti.
Tidak hanya perkembangan ilmu tentang kedokteran, tapi ilmu keperawatannya pun harus di perkembangkan.
B. Tujuan
Mahasiswa atau masyarakat dapat mengetahui tentang penyakit Hirschsprung beserta asuhan keperawatannya maupun pengobatannya. Sehingga mahasiswa atau masyarakat dapat mengaplikasikannya untuk kebutuhan diri sendirinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi Fisiologi Rectum
Merupakan bagian caudal ( anus ) dari intestinum crassum, terletak retroperitoneal, memanjang mulai setinggi corpus vertebrae sacralis 3 sampai anus. Anus adalah muara dari rectum ke dunia luar. Pada rectum terdapat flexura sakralis yang mengikuti cuvatura Os. Sacrum dan flexura perinealis yang mengikuti lengkungan perineum. Bagian cranialis disebut pars ampularis recti dan bagian caudalis disebut pars analis recti.
Pada pars ampularis terdapat 3 buah plica transversalis yang dibentuk oleh penebalan stratum circulate tunica muscularis. Plica yang tengah sangat tebal, disebut plica transversalis kohlraush yang berfungsi sebagai penahan isi rectum.
Pada pars analis terdapat plica yang arahnya longitudinal dan disebut columna rectalis morgagni. Di sebelah analis columna rectalis bersatu membentuk annulus rectalis ( annulus haemorrhoidalis ). Di sebelah profunda mucosa terdapat plexus venosus yang disebut plexus haemorrodalis.
B. Definisi
Hirschsprung adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rectosigmoid colon, dengan tidak adanya ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltic serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ).
C. Etiologi
1. Factor genetic, sering terjadi pada anak dengan down sindrom.
2. Tidak adanya sel ganglion.
3. Kegagalan sel neural pada masa embrio pada dinding usus.
4. Gagal eksistensi.
5. Crania caudal pada myentic dan sub mukosa dinding plexus.
D. Pathofisiologi
Pada penyakit ini, colon mulai dari yang paling distal sampai pada bagian usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatik intramural. Bagian colon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini colon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun membentuk megakolon.
Plexus mesentrik ( Auerbach ) dan plexus submukosal ( meissner ) tidak ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltic usus dan fungsi lainnya. Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui, sel ganglion enteric berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam bertahan, berpoliferasi, dan berdiderensiasi pada segmen aganglionik. Komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan factor neurotropic.
Sel otot polos pada kolon ganglionik menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan elektrofisiologi. Hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan penyakit hirschsprung.
E. Manifestasi Klinik
1. Kegagalan dalam mengeluarkan feses dalam hari pertama atau kedua kelahiran.
2. Muntah, mencakup muntahan cairan hijau disebut bile-cairan pencernaan yang diproduksi hati.
3. Konstipasi
4. Diare
Tanda – tanda pada anak – anak yang lebih tua :
1. Perut buncit.
2. Masalah dalam penyerapan nutrisi yang mengarah pada penurunan BB, diare ataupun keduanya dan pertumbuhan yang lambat.
3. Infeksi colon, khususnya bayi baru lahir atau yang masih sangat muda, yang dapat mencakup enterocolitis, infeksi serius dengan diare, demam dan muntah serta kadang – kadang dilatasi colon yang berbahaya.
Pada dewasa dapat ditandai :
1. Konstipasi
2. Anemia, karena darah hilang dalam feses.
F. Klasifikasi
1. Segmen pendek atau letak rendah adalah aganglion yang terjadi pada rectum bagian bawah ( sigmoid sampai anus ).
2. Segmen panjang atau letak tinggi adalah aganglion yang terjadi melebihi sigmoid mengenai seluruh colon.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Kimia Darah
Pada kebanyakan pasien ditemukan elektrolit dan panel renal biasanya dalam batas normal.
2. Darah Rutin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet preoperative.
3. Profil Koagulasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memstikan tidak adanya gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
Pemriksaan Radiologi :
1. Foto polos abdomen
2. Barium Enema
H. Penatalaksanaan
Pengobatan medis bertujuan untuk mengani komplikasi dari penyakit hirschsprung yang tidak terdeteksi, sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitive dilakukan, untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Penatalaksanaan komplikasi diarahklan menghindari distensi berlebihan, menghindari komplikasi sistemik seperti sepsis. Maka dari itu hidrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan pemberian antibiotic intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.
Pembersihan kolon yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotic propilaksis telah menjadi prosedur untuk mengurangi resiko terjadinya enterocolitis. Injeksi BOTAX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan usus yang normal pada pasien post-operatif.
Penanganan operatif hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini yang biasanya membutuhkan biopsy rectal full-thickness. Pada umumnya penatalaksanaan awal yaitu dengan membuat colostomy dan ketika anak bertumbuh dan memiliki berat lebih dari 10 kg, operasi definitive dapat dilakukan.
Untuk neonatus pertama kali ditangani dengan colostomy, mulanya zona transisi diidentifikasi dan colostomy dilakukan pada bagian proksimal area ini. Keberadaan sel ganglion pada lokasi colostomy harus dikonfirmasi dengan biopsy frozen-section. Baik loop atau end-stoma dapat dikerjakan biasanya tergantung dari preferensi ahli bedah.
I. Diit
1. Makanan berserat tinggi dan mengandung buah – buahan segar dapat mengoptimalkan fungsi usus post-operative pada beberapa pasien.
2. Batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu untuk penyembuhan luka secara baik.
3. Tujuan dari farmakoterapi untuk mengurangi komplikasi.
J. Farmakologi
Terapi antimikroba harus komprehensif dan mencakup seluruh pathogen terkait dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotic sebaiknya dipandu oleh tes kultur darah dan sensitivitas.
K. Komplikasi
1. Demam
2. Perut kembung
3. Muntah
4. Diare
5. Perdarahan dari rectum
6. Konstipasi
7. Perdarahan lambung
8. Radang usus
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN HIRSCHPRUNG
A. Pengkajian
1. Pada bayi.
a) Tidak ada meconium dalam 24 – 48 jam pertama setelah lahir.
b) Muntah hijau, diare, konstipasi, distensi abdomen.
c) Perut tegang, kembung.
d) Bila dilakukan colok dubur, tinja akan keluar menyemprot.
e) Anak malas minum.
f) BB menurun.
2. Pada anak
a) Konstipasi meningkat secara bertahap.
b) Feses berbutir kecil.
c) Distensi abdomen.
d) Muntah dan diare.
e) Massa feses teraba kuadran kiri bawah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan hipo peristaltik,diare lama,konstipasi,iritasi jaringan
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah dan pembatasan diit.
3. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan peristaltik usus yang abnormal.
4. Gangguan kenyamanan berhubungan dengan akumulasi gas dalam perut dan nyeri post operasi.
5. Kecemasan orang tua berhubungan dengan keadaan anak dan rencana pembedahan.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka post operasi
C. Rencana Asuhan Keperawatan
1. DX 1 Nyeri berhubungan dengan hipo peristaltik,diare lama,konstipasi,iritasi jaringan
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam pasien menyatakan nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria hasil : Klien tampak rileks dan mampu tidur atau istirahat dengan tepat.
INTERVENSI
- Dorong pasien untuk melaporkan nyeri.
- Kaji ulang faktor faktor yang meningkatkan atau menghilangkan nyeri.
- Catat distensi abdomen,peningkatan suhu,penurunan tekanan darah.
- Lakukan modifikasi diit sesuai resep.
- Bantu dengan mandi duduk (rendam)sesuai indikasi.
RASIONAL
- Untuk mengetahui apakah nyeri sudah berkurang atau belum.
- Dapat menunjukan faktor faktor yang bisa menyebabkan nyeri.
- Menunjukan terjadinya obstruksi usus karena inflamasi,edema dan jaringan paru.
- istirahat usus penuh dapat menurunkan nyeri.
- Memberikan kesejukan lokal dan kenyamanan untuk area iritasi rektal.
2. DX 2 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah dan pembatasan diit.
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi.
Kriteria hasil : Klien dapat menunjukan BB stabil dengan nilai Lab. Normal
INTERVENSI
- Auskultasi bising usus dan kaji apakah ada nyeri perut,mual dan muntah.
- Pantau masukan makanan dan timbang BB tiap hari.
- Berikan diit cair,lebih lembut,tinggi protein dan serat serta rendah lemak.
- Tekankan pentingnya tentang menghentikan masukan.
RASIONAL
- Kekurangan kortisol dapat menyebabkan gejala gastrointestinal berat yang mempengaruhi pencernaan dan absorbsi dari makanan.
- Untuk mengetahui asupan makanan yang diberikan dan kestabilan BB.
- Dapat memberikan nutrisi tanpa menambah kalori.
- Makan yang berlebihan dapat menyebabkan mual atau muntah.
3. DX 3 Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan peristaltik usus yang abnormal.
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam obstipasi klien dapat teratasi.
Kriteria hasil : feses lambek,perut supel.
INTERVENSI
- Buat program latihan defekasi atau kandung kemih.
- Anjurkan untuk minum adekuat selama siang hari.
- Sampaikan penerimaan ketika terjadi inkontinensial.
- Berikan obat pelembek feses.
RASIONAL
- Menstimulasi kesadaran pasien,meningkatkan pengaturan fungsi tubuh dan menghindari kecelakaan.
- Menurunkan resiko konstipasi atau dehidrasi.
- Menurunkan resiko iritasi kulit.
- Untuk menstimulasi defekasi yang teratur.
4. DX 4 Gangguan kenyamanan berhubungan dengan akumulasi gas dalam perut dan nyeri post operasi.
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam pasien menyatakan gangguan kenyamanan dapat teratasi.
Kriteria hasil : Pasien dapat mengeluarkan flatus.
INTERVENSI
- Dorong pasien untuk menyatakan masalah.
- Berikan tindakan kenyamanan
- Kaji nyeri
- Dorong penggunaan teknik relaksasi.
RASIONAL
- Menurunkan ansietas sehingga dapat meningkatkan relaksasi.
- Mencegah pengeringan mukosa oral dan ketidaknyamanan.
- Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan.
- Membantu klien untuk istirahat lebih efektif.
5. DX 5 Kecemasan orang tua berhubungan dengan keadaan anak dan rencana pembedahan.
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam kecemasan orang tua berkurang.
Kriteria hasil : orang tua dapat memahami prognosis penyakit dan tindakan yang akan di lakuka.
INTERVENSI
- Evaluasi tingkat ansietas.
- Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur
- Berikan pengetahuan tindakan pembedahan kepada orang tua.
RASIONAL
- Ketakutan pada prosedur diagnostik dan kemungkinan pembedahan.
- Membatasi kelemahan,menghemat energi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
- Untuk mengurangi kecemasan orang tua terhadap tindakan pembedahan.
6. DX 6 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka post operasi.
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam luka dapat sembuh tepat waktu.
Kriteria hasil : Luka tidak terjadi infeksi.
INTERVENSI
- Observasi penyatuhan luka,karakter drainase dan adanya inflamasi.
- Pertahankan perawatan luka aseptik.
- lakukan irigasi luka sesuai kebutuhan.
RASIONAL
- Perkembangan infeksi dapat memperlambat penyembuhan.
- Melindungi luka pasien dari kontaminasi silang selama penggantian balutan.
- Mengatasi infeksi bila ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar